Sabtu, 10 November 2012

0

Hindu Memiliki Konsep Jenjang Kehidupan Yang Jelas Dan Telah Tersusun Dengan Sistimatis Dalam Catur Asrama.


 Kita mesti berbangga karena Hindu telah memiliki konsep yang jelas tentang jenjang dari masa kehidupan seorang manusia, dimana didalam kepercayaan lain konsep ini nampak tidak begitu jelas dimana seorang yang sebenarnya sudah masuk di masa yang sudah tidak muda lagi masih diijinkan untuk menikah dan begitu juga sebalik diusia yang masih sangat muda seorang telah dinikahkan. Selain itu penilaian Hindu tentang seberapa pantas seorang itu menikah bukan hanya dari fisik tapi kedewasaan mental dan seberapa besar kemampuan yang diperoleh dalam masa belajar untuk dapat menunjang kehidupan rumah tangganya nanti.
         Kata Catur berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan “kerohanian”, kata Asrama juga sering dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan prilaku manusia. Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.
       Bagian-bagian catur asrama Naskah jawa kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian catur asrama. dalam kitab silakrama itu dijelaskan sebagai berikut: yang bernama catur asrama ialah brahma cari, grhastha, wanaprastha, dan bhiksuka. Berdasarkan uraian dari agastya parwa diatas, sangat jelas pembagian catur asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasramaan berdasarkan petunjuk kerohanian. dari keempat pengesraan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara berjenjang. masing-masing tentang dalam setiap jenjang menunjukan ketenangan rohani. adapun pembagian dari catur asrama itu terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: 1, Brahmacari asrama, 2, Grahastha asrama, 3, wanaprastha asrama dan 4, Bhiksuka sanyasin asrama. masing-masing jenjang waktu tertentu dalam pelaksanaanya.

Senin, 16 Juli 2012

0

Antara harapan, impian, dan kenyataan

~KAYA RASA, KAYA MAKNA
Memberi, memberi, memberi.
Lihat bagaimana hidupmu menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.
Saat memberi sebenarnya orang tidak saja mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.
Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”

Sabtu, 23 Juni 2012

0

Cycling

Hari Minggu, 11 juni 2012, kemarin saya habiskan waktu jalan-jalan menikmati keindahan alam, tepatnya di Kintamani. Bukan ikutan tour seperti paket tour kintamani, Tapi dengan bersepeda atau cycling. Biasa kami chit-chat dulu, saling mengenal buat yang belum kenal. Hidangan teh manis dan pisang goreng, bisa mengobati rasa lapar, atau sekedar pengganti sarapan. Lalu kami diantar ke start point di kawasan dekat Kintamani. Sebelum memulai petualangan dengan sepeda ini, kami melakukan sedikit warming up untuk menghindari cedera nanti. Peserta kurang lebih 20an orang, jadi akan lumayan seru nih Banyak cewek cantik dan cowok gantengnya juga hehehe.. Beberapa saat kemudian setelah warming up, kami pun memilih sepeda masing-masing dan semua sepeda sudah disetting ke downhill mode alias setingan buat turunan. Ya memang benar saja, hampir 70an persen trek bersepeda ini adalah turunan, sisanya kebanyakan trek datar dan sedikit tanjakan. Jadi buat yang ngga biasa bersepeda seperti saya pun ngerasa fun abiss.. Sepanjang perjalanan kita akan menikmati hijaunya alam. Kebun jeruk, persawahan, perumahan penduduk, pura tradisional yang kaya mitos akan bisa dinikmati di perjalanan ini. Lama perjalanan kurang lebih3 jam. Akan cukup menantang buat kawan yang senang akan olahraga adventure. Seru man! Habis itu, sudah capek-capek ria, kami menikmati shower di finish point dan juga makan siang. Wah lahapnya minta ampun karena baru saja tubuh ini membakar kalori yang banyak. Kalau badan-badan masih merasa pegal, jangan lupa sorenya mencoba pijat reflexology. Lengkap dan mantab, kan?

Minggu, 08 April 2012

0

Karma Phala sebagai landasan hidup umat Hindu


Karma Phala berasal dari 2 (dua) kata, yaitu Karma yang artinya segala perbuatan, kerja/gerak dan Phala yang artinya hasil
Jadi Karma Phala artinya segala perbuatan akan memperoleh hasil, hasil dari segala perbuatan.
Makna Karma Phala
Karma (kerja/gerak) meninggalkan Karma Wasana (bekas-bekas gerak) yang kelak timbul menjadi Karma Phala yaitu hasil dari perbuatan yang akan menentukan baik dan buruk penjelmaan kita di masa yang akan datang.  Hal ini dapat kita ketahui dari adanya kelahiran orang pandai, bodoh, tampan/cantik, jelek, normal, cacat, kaya, miskin dan sebagainya, itu adalah disebabkan oleh adanya Karma yang baik (Ḉubhakarma) dan Karma yang tidak baik/buruk (Aḉubhakarma) yang telah dilakukannya pada penjelmaan terdahulu.  Kita percaya,  bahwa segala perbuatan (Karma) akan memperoleh hasil (Phala/Phahala) dan tiap hasil yang kita peroleh tergantung dari baik dan buruk dari perbuatan yang kita perbuat.  Oleh karena itu, jika ingin menjadi manusia yang baik dan sempurna, berbuatlah baik sekarang juga, agar sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata) serta kemudian menjadi manusia utama, sehingga Sang Hyang Atma (Rokh) memperoleh tempat yang baik.  Dalam buku Sarasamuscaya  Bab XI,12) disebutkan :
 Kang   ḉubha karma   panenta   sakna   ring   aḉubha kharma   phalaning  ring   wong
 Artinya : Perbuatan yang baik itu adalah alat untuk menebus perbuatan yang tidak baik (dosa), yang patut dilaksanakan oleh setiap orang.
Jadi disini dikatakan, bahwa perbuatan yang tidak baik (dosa) hanya dapat ditebus dengan perbuatan yang baik, karena tidaklah ada suatu alasan bagi manusia untuk menebus dosanya dengan uang (materi).  Kalau toh ini mungkin ini hanya berlaku dalam alam dunia (sekala/duniawi/kemanusiaan), ilustrasi ini dapat diambil dari Wayang Cenk-Blonk                ”Gatokaca Anggugah” tentang Cerita Atman Pranda yang ngotot supaya mendapatkan Sorga (Percakapan Tuwalen/Penakawan vs Pak Sokir/Petani miskin yang memperoleh Sorga), di alam sekala kesalahan/dosa kita bisa beli dengan menyogok sehingga kita terbebas dari jeratan hukum, tetapi alam niskala tetap akan menuntut kita berdosa dan tetap akan memperoleh pahala/hasil yang dinamakan neraka.
Selanjutnya penjelasan mengenai Karma Phala kita jumpai melalui cerita dalam kitab Maha Brata, Ramayana, Arjuna Wiwaha, Niti Castra dan kakawin lainnya : Arjuna Wiwaha, Wirama Dasar : Aswalalita, Kadang Wirama : Rajani/Mandamalon (17)
o
o
o
o
-
o
-
o
o
o
-
o
o
-
o
o
ō
sya pa, ka ri tan te mung a yu, ma se dha na, sar wa a yu
mi ya ta ka tem wa ning a la, ma se dha na, sar wa a la
tu wa sa li sih ma nang sa ya, pu re kre ta, ta pa ti nut
sa ke ha re pan, ke si dan, ma ka dar sa na, Pan dhu su ta
Artinya :
-  Siapa yang masih tertinggal belum menemui kebahagiaan, diantara mereka yang telah mengabdikan diri pada kebaikan…, -   Oleh karena itu tentu akan memperoleh kesengsaraan jika berbuat yang salah…, -   Pikiran yang ragu-ragu akan keadaan si Karma Phala, yang baiklah dilaksanakan…, -   Segala yang terangan-angan pasti tercapai sebagai halnya Sang Arjuna. Niti Castra, Wirama Dasar : Wirat, Kadang Wirama : Kalelengan (22)
o
-
o
o
o
-
o
-
o
o
o
-
o
o
o
o
o
-
o
o
o
ō
su rud, ni ka na ngar tha ring gre ha hi lang nya tan ha na wi na wa yan pe jah
i kang ma mi dra swa wan dhu su ru di pe ma sa ra, nu mu lih pa da na ngis
ga we, a la ha jong ma nun tun, a ngi ring, ma nu dha ke nu lah, te ka te kan
ka li nga ni ka, ring da di wa ngi se deng u rip a ngu la ha dhar ma sdha na
Artinya : Luluh hilangnya si harta benda itu semasih kita di rumah, sudah berpisahan tidak dapat dibawa jika kita mati… Yang cinta kasih, sanak keluarga berpisahannya sampai di kuburan dan pulangnya sama-sama menangis… Segala perbuatan buruk dan baik itulah yang akan menuntun memberi petunjuk jalan di mana sepantasnya akan tinggal… Demikianlah disebutkan, kita jadi manusia, kebetulan masih hidup dan sepatutnyalah menjalankan dharma laksana
Pembagian Karma Phala
Kenapa ada kelahiran orang pandai, bodoh, cantik, jelek, normal, cacat, kaya, miskin, anak kita bandel/susah diatur/menyusahkan, orang yang kuat/tekun sembahyang/tunggang-tungging selalu/masih saja dirundung penderitaan/kesengsaraan, membuka bisnis tidak pernah berhasil-berhasil, sakit tidak pernah sembuh-sembuh dan seterusnya ? Itu semua karena hukum Karma Phala yang datangnya apakah cepat, sedang atau lambat? Untuk itu, berikut adalah pembagian Karma Phala, yaitu antara lain:
a.        Pararabda Karma Phala
Adalah hasil/pahala perbuatan dari masa kehidupan sekarang ini yang habis (tanpa ada sisanya) dinikmati pada masa kehidupan sekarang ini juga atau Karma Phala cepat/cicih.
b.        Sancita Karma Phala
Adalah hasil/pahala perbuatan dari masa kehidupan yang lampau/dahulu dan baru  dinikmati pada masa hidup sekarang ini  atau Karma Phala sedang.
c.         Kriyamana Karma Phala
Adalah hasil/pahala perbuatan dari masa kehidupan sekarang ini dan baru akan  dinikmati kehidupan penjelmaan yang akan datang  atau Karma Phala lambat.
d.        Karma Phala Sentana
Adalah hasil/pahala dari perbuatan yang diterima oleh sentana/keturunan akibat perbuatan orang tua (leluhur).
Hukum Karma Phala Sebagai Landasan Sikap Bathin Umat Hindu
Sukses tidaknya perjuangan hidup seorang di dalam segala aspeknya itu adalah sangat tergantung sekali pada disiplin bathin yang dipegangnya, terutama disiplin dan konskwen terhadap pantangan segala apa yang disebut  Adharma atau serba keburukan, kecurangan, kekerasan dan kekasaran.
Setiap gerak dari pada hidup ini, baik dalam pemikiran dan perencanaan, kata-kata dan pelaksanaan (Tri Kaya Parisudha, Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, Tri Premana) bila dibarengi oleh sikap bathin Adharma, walaupun itu masih bersifat perencanaan saja, ia sudah pasti akan membawa suatu akibat buruk, diminta atau tidak, cepat atau lambat, dirasa atau tidak dirasa, pada saatnya akan muncul dengan sendirinya, seperti ucapan:
riastu ri angen-angen maphala juga ika” Artinya: kendatipun masih tarap pemikiran, berbuah juga ia.
Itulah salah satu yang membedakan Agama Hindu dengan agama lainnya, juga membedakan dengan hukum Pidana. Hukum Pidana baru bisa kena hukuman apabila sudah ada bukti, saksi dan kesaksian dengan melewati proses hukum yang panjang (melibatkan aparat Polri, Kejaksaan dan Pengadilan).  Tiada sebab tanpa akibat dan tiada akibat tanpa sebab atau tiada Karma tanpa Phahala dan tiada Phahala tanpa Karma. Baik buruknya suatu akibat (Phahala/hasil) sangat tergantung pada baik buruknya sebab (Karma/perbuatan) itu sendiri.
Jalan dan Karma yang berlandaskan Dharma pasti menuju Sorga (kebahagiaan) dan Moksa (kebebasan abadi) dan sebaliknya setiap Jalan dan Karma yang berlandaskan Adharma adalah menuju Neraka (kesengsaraan dan penderitaan).
Semua kegiatan kita dalam berpikir, berkata dan berbuat harus berlandaskan wiweka (kemampuan untuk membeda-bedakan, menimbang-nimbang dan akhirnya memilih antara yang baik dan buruk , salah dan benar dan sebagainya).
Kebebasan abadi berupa Moksa dapat dicapai dengan tidak mengikatkan diri pada pamrih dari suatu perbuatan (Karma).  Dengan ini bukan berarti bahwa orang mesti tiada berbuat apa-apa lantas nongkrong duduk termangu-mangu atau bermalas-malasan hanya duduk dan berdoa mengharap rejeki dan kebahagian jatuh dari langit, karena tiada pamerih (mengikatkan diri) pada hasil Karma, namun ia harus selalu berbuat dan berjuang menegakkan Dharma.
Hal ini jelas terlihat dalam Sloka pada Bhagawad Gita Bab III, sloka 4  dan 5 sebagai berikut : na  karmaṇām anārabhān naiṣkarmyaṁ puruṣo ’śnute, na  ca  saṁnyasanād   eva siddhiṁ samadigacchati.     (Bhagawad Gita III : 4)
Artinya :
Bukan  dengan  jalan  tiada  bekerja … orang mencapai kebebasan dari ikatan perbuatan, Juga  dengan  tiada  hanya  melepaskan  diri  dari kerja … orang akan mencapai kesempurnaan hidup.   na hi kaścit kṣaṇam api jātu, tiṣṭhaty  akarm-kṛt, kāryate hy avaśah karm sarwaḥ prakṛti-jair guṇaiḥ. (Bhagawad Gita III : 5)
Artinya :
Sebab tiada seorangpun akan dapat tinggal diam … walau hanya  sekejap  mata  juga  tanpa  melakukan pekerjaan, Tiap-tiap orang selalu digerakkan … oleh dorongan alamnya    sendiri    dengan     tiada     berdaya.

Selasa, 28 Februari 2012

0

Warga Bali Di Berlin Bangun Pura

Umat Hindu di Berlin, Jerman berhasil membangun tempat suci yang diberi nama Pura Tri Hita Karana yang penggunaannya diresmikan tahun 2003.

Tempat suci tersebut dibangun di Taman Bali Marzhan Berlin Jerman, tepatnya Erholung Spark Marzhan, Wakil Ketua Nyama Braya Bali (NBB) Berlin Ketut Warsini, didampingi Sekretaris Ida Bagus Puja Erawan, SH ketika bertemu Bupati Buleleng Putu Bagiada di Singaraja, Selasa.
0

Yayasan Tri Hita Karana Berikan "Platinum Award"

Yayasan Tri Hita Karana Bali untuk pertamakalinya memberikan penghargaan "Platinum Award" kepada pemilik hotel serta pelaku pembangunan lainnya di Pulau Dewata, baik swasta maupun pemerintah.

Penghargaan diberikan kepada mereka yang telah mengimplementasikan konsep keharmonisan hubungan dengan tiga pihak, yakni antarsesama manusia, dengan alam dan Tuhan, di lingkungan kerja masing-masing.
0

Masyarakat Ubud Lestarikan Konsep Bakti Dan Asih

Masyarakat Desa Pakraman Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, melestarikan konsep bakti dan asih dalam menjaga harmonisasi antarsesama.

"Konsep ini telah diwariskan oleh para leluhur kami dan berusaha kami lestarikan serta diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bhakti sebagai perwujudan rasa syukur kami kepada Tuhan, sedangkan asih wujud kasih sayang antarsesama dan lingkungan," kata Bendesa Desa Pakraman Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa, Kamis.
0

Kawasan Kerajaan Bali Kuno Tak Terurus

Kawasan kerajaan Bali Kuno di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, kian tak terurus seiring dengan rusaknya jalan menuju situs kerajaan itu.

"Kawasan ini pada ratusan tahun silam sempat menjadi pusat kerajaan Bali," kata I Made Mangku, warga Pinggan, Rabu.
0

Raja Se-Bali Sepakat Tolak Raja Majapahit

Para raja se-Bali setelah melakukan diskusi "panas" selama tujuh jam, akhirnya sepakat menolak  keberadaan dari  I Gusti  Ngurah Arya  Wedakarna yang mengklaim "mebiseka" atau melantik dirinya sebagai Raja Majapahit.

Kesepakatan penolakan itu ditandatangi oleh  Penglingsir atau Ketua Paiketan Puri-Puri se-Bali, Ide Dalem Smara Putra pada musyawarah raja -raja se-Bali di Puri Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar, Minggu.

Rabu, 01 Februari 2012

1 komentar

Parama Shanti dalam Segehan dan persembahan

Serupa dengan masyarakat Tibet yang memiliki banyak upacara, Bali juga kaya upacara. Namun upacara tentunya tidak sebatas sesajian.
Ada persembahan luar (outer offering) berupa sesajian, ada persembahan dalam (inner offering) berupa pelayanan, ada pesembahan rahasia (innermost secret offering).